Dibalik Kisah Penangkapan OTT KPK

MATRANEWS.id —  Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Menteri Edhy Prabowo menaikan pamor  KPK yang kemarin sempat meredup. Tatkala ada ada beberapa sosok berintegritas di komisi anti rasuah itu menyatakan keluar dan mengundurkan diri.

Penangkapan Menteri KKP asal Gerindra yang merupakan tangan kanan Prabowo menguak kader partai di pusaran ekspor lobster.

Staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan diduga mengatur teknis, penunjukan hingga pembekuan izin eksportir lobster.

Bersama Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia, PT Aero Citra Kargo sebagai penyedia jasa pengiriman jasa tunggal ekspor benih lobster ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Tak pelak, Kementerian ini dipersepsikan di masyarakat menjadi sarang bisnis partai, dalam menghimpun dana. Benarkah tim ini bergerak di luar kendali ketua KPK yang sekarang?

Tim Novel Baswedan Bergerak Dalam Senyap

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengapresiasi kinerja KPK.

Di tengah kesulitan akibat pengesahan UU KPK  nomer 19 tahun 2019, dimana untuk ijin menyadap perlu rantai panjang. Persoalan sistemik, akibat UU yang membuat lembaga itu sulit bekerja dalam senyap.

“Tim penyidik pimpinan Novel Baswedan bisa bergerak, semoga kasus Harun Masiku yang tak jelas keberadaannya juga bisa terungkap,” kata Egi Primayoga peneliti ICW.

Melalui cuitan di akun Twitter @febridiansyah yang diunggah pukul 07.38 WIB, Febri turut mengapresiasi kerja tim lembaga antirasuah yang berhasil menangkap Edhy terkait dugaan korupsi penetapan izin ekspor baby atau benih lobster.

“Kerja luar biasa, hormat pada tim yang bisa melakukan dalam kondisi saat ini,” demikian cuitan Febri soal penangkapan itu.

Menurut sumber MATRA, salah satu keberhasilan dari penangkapan ini dilakukan dengan trik investigasi secara senyap.

Satgas pimpinan Novel Baswedan mengusut kasus ini dari hanya bermodalkan izin penyadapan atau penyidikan, yang semula ditujukan kepada sejumlah staf di Kementerian kelautan.

Tak Punya Izin menyadap Menteri

Tim bergerak memantau pergerakan kader Gerindra itu, hanya dari stafnya saja. Karena kalau memakai teknik sesuai UU yang baru, ijin penyadapan harus lewat Dewan Pengawas atau Komisioner. Ini yang tak bisa disebut kerja senyap.

Dengan adanya ijin, menyadap sejumlah staf,  tim bergerak. Bahkan, pergerakan “senyap” ini tak diketahui Ketua KPK Firli Bahuri.

Komandan KPK Firli, baru tahu setelah OTT berlangsung sukses. Mekanisme penegak hukum KPK ini yang kemudian membuat berhasil mengungkap semuanya.

Edhy ditangkap sesaat setelah dirinya pulang dari Honolulu, Amerika Serikat. Kunjungan ke AS itu untuk memperkuat kerja sama bidang kelautan dan perikanan dengan salah satu lembaga riset di negeri Paman Sam tersebut.

Kerja sama ini dalam rangka mengoptimalkan budidaya udang secara berkelanjutan di Indonesia. Edhy juga akan mengunjungi Oceanic Institute (OI) di Honolulu, Negara Bagian Hawaii.

Azas Praduga Tak Bersalah

Giliran Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berlebihan mengekspose persoalan korupsi izin ekspor benih lobster yang menjerat Edhy Prabowo.

“Saya minta KPK juga periksa sesuai ketentuan yang bagus saja. Jangan berlebihan. Tidak semua orang jelek, ada yang baik,” kata Luhut di Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat.

Ucapan diberikan saat tim KPK menelusur ke KKP tepatnya di Gedung Mina Bahari IV yang merupakan kantor Menteri itu.

Tampak salah satu penyidik senior KPK, Novel Baswedan juga ikut menjadi tim penyidik. Penggeledahan di Gedung tersebut dilakukan sejak pukul 10.45 WIB.

 Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani meminta asas praduga tak bersalah dihormati dalam kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Edhy Prabowo.

Menurutnya, upaya penyediaan bantuan hukum pun harus dihormati sebagai sebuah upaya untuk menjernihkan persoalan-persoalan yang dituduhkan terhadap Edhy.

“Kami juga berharap agar asas hukum praduga tak bersalah tetap dihormati, tetap dijunjung tinggi,” kata Muzani meyakini KPK akan menangani kasus korupsi yang diduga dilakukan Edhy secara transparan, baik, cepat, dan akan membuat masyarakat mengetahui secara jelas duduk persoalannya.

Muzani menambahkan, Edhy sudah mengajukan pengunduran diri dari Menteri Kelautan dan Perikanan serta Wakil Ketua Umum DPP Gerindra.

Kesaksian Ngabalin Yang Ikut Ke Amerika

Anggota Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ali Mochtar Ngabalin ikut dalam rombongan Edhy bersama pejabat KKP kunjungan kerja ke Amerika Serikat (AS).

Ngabalin juga satu pesawat dengan Edhy dan rombongan yang mendarat di Soetta.

“Kami satu tim (rombongan). Cuma saya ada di belakang, duduk di belakang, sehingga Bapak Menteri duluan bersama dengan para dirjen (KKP), kemudian kami di belakang,” kata Ngabalin bersaksi  rombongan Edhy tiba sekitar pukul 01.00 WIB di Terminal 3 Bandara Soetta. Ia menyatakan bahwa tim KPK sudah menunggu di pintu kedatangan.

Ngabalin mengatakan tim KPK menjemput Edhy di dalam Terminal 3, bukan pesawat. Ia mengaku dirinya dipisahkan dengan Edhy selepas mengisi keterangan hasil tes swab di pintu kedatangan.

“Setelah mengisi keterangan hasil swab itu, disuruh pisah. Tentu beliau (tim KPK) datang punya daftar orang yang beliau minta keterangan. Saya tidak masuk dalam orang yang diminta keterangan, jadi tidak diikutsertakan dalam tim itu,” katanya.

KPK menetapkan Edhy dan enam orang lain sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi izin ekspor benih lobster atau benur. Edhy diduga menjadi salah satu pihak penyelenggara negara yang menerima uang terkait ekspor benur.

KPK mengungkapkan total uang yang diterima oleh Edhy di dalam rekening penampung sebesar Rp9,8 miliar. Edhy ditangkap bersama istrinya, Iis Rosita Dewi, serta pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika ditotal, KPK menangkap sekitar 17 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu.

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut Menteri KKP diamankan KPK, diduga terlibat korupsi dalam penetapan izin export baby lobster.

Pada era Edhy, kebijakan ekspor itu ditetapkan dengan Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.

Wakil Ketua KPK Namawi Pomolanggo menyatakan suap ini berawal Oktober lalu. Suharjito datang ke kantor KKP untuk meminta ijin melakukan ekspor benur. Saat itu, ia bertat semu dengan Safri.

Dalam pertemuan itu, Suharjito mendapat penjelasan bahwa untuk melakukan ekspor benur hanya dapat dilakukan melalui forwader PT Aero Citra Kargo, dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor.

Ketentuan ini merupakan antara pengurus PT Aero, Siswandi dan staf khusus Edhy (Andreau Pribadi Misata) yang juga menjabat Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Perijinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.

PT Dua Putra kemudian diduga mentransfer duit ke rekening PT Aero sebesar Rp 731 juta. Setelah itu, PT Dua Putra memperoleh jatah mengirim benih lobster sebanyak 10 kali pengiriman.

Di 5 November, pemilik saham PT Aero (Ahmad Bahtiar) mengirim duit kepada Edhy, lewat rekening Ainul Faqih (staf istri Edhy).

Nah, duit inilah yang digunakan Edhy dan istri untuk belanja barang mewah seperti jam tangan Rolex, arloji Jacob n co, tas koper LV, Tumi, Hermes hingga baju Old Navi. Barang itu dibeli di Honolulu, Amerika.

Sebelum itu, Edhy diduga menerima duit 100 ribu US dolar dari Suharjito melalui Safri dan Akmiril Mukminin. Pada Agustus lalu, sudah juga ditransfer senilai Rp 436 juta dari Ainul Faqih.

Jakarta-Nama Suharjito menjadi sorotan usai masuk list pihak-pihak yang diamankan KPK selaku pihak swasta dalam kasus suap benih lobster. Suharjito diduga sebagai pihak pemberi suap.

“KPK menetapkan pemberi (suap, Red) adalah SJT (Suharjito),” ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Suharjito menjadi satu-satunya tersangka pemberi suap.

Siapa Suharjito?

Ia merupakan chairman holding company PT Dua Putera Perkasa (DPP). Dia juga calon besan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet). September lalu, salah satu anak gadis Bamsoet dilamar oleh anak Suharjito.

“Anaknya (Suharjito, Red) tunangan sama anak Bamsoet,” kata seorang penyidik yang menangani perkara tersebut. Kabar pertunangan itu sempat diunggah Bamsoet di akun Instagram pribadinya, @bambang.soesatyo, pada 7 September lalu

Bamsoet juga sempat mem-posting foto bersama Suharjito di akun IG yang memiliki 237 ribu pengikut itu.

“Detik-detik Laras ’ditembak’ Adit. Laras adalah salah satu anak perempuan Bamsoet. Sedangkan Adit adalah anak Suharjito.” Demikian bunyi caption dalam posting-an tersebut.

Adit merupakan anak Suharjito yang menjabat direktur utama (Dirut) PT DPP. Hal itu diketahui dari situs resmi PT DPP.

Perusahaan yang bergerak di bidang impor, ekspor, serta distribusi makanan mentah dan olahan itu berdiri sejak 1998. Perusahaan tersebut mengklaim memiliki teknologi industri makanan. Baik dalam pengolahan, penyimpanan, maupun pendistribusian.

Semula PT DPP bergerak di bisnis perdagangan produk daging, seafood, lalu merambah bisnis poultry. Kemudian, PT DPP menambah divisi usaha dengan memproduksi makanan olahan siap saji dengan brand King Food.

Perusahaan itu berambisi merajai produk makanan olahan di pasar dalam negeri dan mengekspor produk-produknya ke luar negeri.

Baru-baru ini, PT DPP tercatat sebagai perusahaan eksporter benur lobster yang membuka cabang di Kaur, Bengkulu.

Harus diakui, penangkapan menteri ini menjadi iklan besar-besaran untuk mengembalikan geliat KPK. “Kegiatan ini dilakukan oleh tim KPK atas penugasan resmi,” jelas Ali Fikri, jubir KPK.

 

 

 

Tinggalkan Balasan