Peter F Gontha: “Ya, Saya Bergabung Ke Nasdem.”

Ketika berbincang santai dengan S.S Budi Rahardjo, Pemred Matra & CEO majalah eksekutif.

“Sekali lagi, Bang Surya menyampaikan keinginannya agar saya masuk ke partai Nasdem sebagai anggota Dewan Pakar,” Peter Gontha mengaku sungguh, merasa terhormat dengan tawaran itu.

MATRANEWS.id –Mantan Duta Besar Indonesia di Polandia memutuskan masuk partai politik.

Sikap ini,  viral di media sosial milik Peter Frans Gontha, yang dikenal sebagai pengusaha dan pendiri pertunjukkan musik Java Jazz.

Di pentas musik berskala internasional, Java Jazz Festival urusannya sudah diserahkan ke Dewi Gontha.

Peter merupakan putra V Willem Gontha dan Alice ini dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 4 Mei 1948 silam.

Memulai SD di jalan Besuki di 1958. Pada 1960, Peter melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Kanisius. Namun dia kerap tinggal kelas. Akhirnya dia menamatkan pendidikan SMA pada 1967.

Di tahun yang sama, menurut Peter, orang tua memindahkannya ke Denhaag, Belanda tanpa visa dan berbekal uang US$ 200. Setibanya di Amsterdam, Peter mengaku tak tahu apa yang akan dikerjakannya.

Tak ada pilihan lain, dia lantas bekerja sebagai sopir taksi. Berkat kemampuan berbahasa Inggris, Belanda dan Indonesia yang fasih, dia memutuskan untuk pindah bekerja ke sebuah kapal.

Selain menjadi kelasi, ia pun pernah menjadi awak kapal pesiar mewat Holland-American Line yang berpusat di Belanda.

Saat itu, Peter mengaku memperoleh bayaran US$ 1.500 per bulan tanpa perlu membayar sewa tempat tinggal dan makan.

Setelah berhasil mengumpulkan uang sebesar US$ 9.000. Lalu dia memutuskan kembali ke Indonesia dan diterima bekerja di Shell atas rekomendasi seorang teman.

Dengan modal US$ 9.000 itu, Peter mulai membangun usaha dan menikah muda, di usia 20 tahun. Tak berhenti sampai disitu, Peter menuturkan, dia menerima beasiswa belajar akunting di Praehap Institute Belanda dari Shell.

Dari pendidikannya itu, dia berhasil menguasai automatisasi sembilan bahasa komputer, akunting dan bisnis. Mencari tempat terbaik, dia kembali bekerja di Citibank pada 1975 lalu pindah di NCR Salesman pada 1979.

Di perusahaan tersebut, Peter mengaku mulai pertama kali berjualan komputer ke salah satu pejabat Sudono Salim dengan penghasilan US$ 25 ribu.

Di usia 32 tahun, ia menjadi karyawan Citibank New York, sampai kesuksesan besar mendatanginya sehingga terpilih menjadi Vice President American Express Bank lingkup Asia.

Bank tersebut mempunyai cabang di Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong Filiphina, Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Pakistan, Srilangka, Australia dan Thailand.

Pada 1988, Peter mendirikan perusahaan Osprey Maritime Tangkers, Indonesia Air Transport pada 1984, Jasa Angkasa Semesta (perusahaan ground handling), dan mendirikan Grand Hyatt dengan kepemilikan saham 7 persen.

Pada 1989, Peter tertarik mendirikan stasiun televisi swasta RCTI, kemudian Liputan6 SCTV. Peter juga membangun Bali Intercontinental di Bali, Indovision, Chandra Asri, FirstMedia, dan Telkomvision.

‘Rupert Murdoch Muda Indonesia

Selain mendapat julukan pengusaha muda, pria yang malang melintang di bisnis media tanah air sebagai ‘Rupert Murdoch Muda Indonesia.

Sementara julukan lainnya adalah ‘Donald Trump Indonesia’ lantaran acara reality show THE APPRENTICE INDONESIA yang dibawakannya.

“Sepanjang 30 tahun terakhir usia saya, ada sejumlah partai politik yang berusaha mengajak saya bergabung. Golkar yang pertama,” demikian Peter F Gontha memberi kesaksian.

Saat itu, ia di Bimantara Group, perusahaan milik Bambang Trihatmodjo, Berkali-kali, menteri Penerangan jaman itu, yakni Harmoko, ketua Golkar saat itu, memintanya untuk menjadi anggota Partai Golkar.

“Theo Sambuaga tokoh pimpinan Golkar, yang merupakan sepupu saya juga mengajak. Tapi, saya menolak,” demikian Peter Gontha.

“Saya merasa, sebagai seorang profesional hanya mau mengerjakan hal-hal sesuai profesinya dan tentu saja tidak berbau politik,” ujar Peter.

Nah, ternyata tak hanya Golkar. Peter Gontha mengaku, almarhum Frans Seda, pentolan Partai PDIP yang demikian dihormati juga mengajak.

“Beliau adalah sahabat orang tua kami, ibu saya yang membuat baju pengantin ibu Joke Seda, juga berkali kali meminta saya untuk bergabung. Ini juga saya tolak,” tutur Peter masih tentang kesaksiannya diajak menjadi kader Partai.

Pada Tahun 2007, Peter mengaku diminta Sutiyoso, Mantan Gubernur DKI untuk mendukung beliau bersama Basuki Purnama ( AHOK).  Namun, kala itu ia merasa politik adalah bukan hal yang  membuat nyaman.

Pada tahun 2007 ketika H.M. Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar, yang merupakan buah transformasi dari Golkar, Peter Gontha juga digadang-gadang untuk masuk Golkar.

Diajak Bergabung, Agar Bantu Pemikiran.

“Saat itu, saya berkompromi dengannya. Boleh saja, asal tidak diberi kartu anggota. Saya tetap keberatan menyandang profesi politisi. Saya hanya bertahan dua bulan dan selesailah, politik bagi saya,” ujarnya.

Lain halnya dengan sahabat sosok bernama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Suatu hari, pria itu datang ke kantor PFG. Ia meminta dukungan agar dapat bergabung ke dalam partai Golkar.

Sebenarnya Ahok datang terlambat, pendaftaran nama-nama calon pengurus sudah ditutup. Berkat hubungan baik PFG alias Peter Gontha, yang dekat dengan para pimpinan Partai Golkar akhirnya Ahok diterima.

Tak seberapa lama, Ahok pun keluar dari Partai Golkar dan pindah ke Parta Gerindra.

“Saya kaget tentu saja,” ujar Peter Gontha, yang menyebut Ahok masih memiliki sopan-santun dengan terlebih dahulu menyampaikan keinginannya untuk keluar dari Golkar.

Ahok mengaku, ingin menjadi calon Wagub dari Pak Jokowi melalui Gerindra. Golkar memang berkeberatan Ahok maju, karena sudah memiliki calon yang lain.

“Saat itu, saya katakan kepadanya:” Ahok ! Gue malu dong sama Orang-orang Golkar yang udah susah-susah singkirin orang lain!”

Tapi, apa boleh buat, tekad Ahok sudah sangat kuat ingin memperbaiki DKI Jakarta.

Setelah kembali ke tanah air dari penempatan sebagai duta besar di Polandia, pada HPN (Hari Pers Nasional) di Surabaya, tanggal 9 February 2019 di Surabaya, momen itu terjadi.

Bersama Chairul Tanjung yang merupakan sahabatnya, PFG bertemu dengan Bang Surya Paloh, Ketua Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Ini harus diakui, pertemuan sahabat yang sudah lama tak pernah berjumpa. Tanpa disangka, “Bang Surya Paloh langsung melontarkan permintaan agar saya bergabung dengan Nasdem.”

Tidak tanggung-tanggung, Surya Paloh meminta PFG sebagai Anggota Dewan Pakar.

“Saya meminta waktu untuk berpikir dan berkonsultasi dengan sejumlah sahabat,” ujar PFG bersaksi.

Ada periode,  batin bergolak. Takut bila publik mengetahui dirinya masuk partai politik akan mencari kedudukan dalam Pemerintahan. Terlebih lagi, saat itu pesta demokrasi sedang gegap gempita di tanah air.

Awalnya  Menolak. Tapi, “Masa Depan Saya Adalah Hari Ini.”

Sekarang, semua telah selesai. Pemilu sudah usai, Pemerintahan telah terbentuk. Semua Menteri telah berada di kursinya masing-masing, demikian pula para anggota DPR, MPR, DPD sudah mulai bekerja dengan dinamikanya masing-masing.

Beberapa partai politik telah melaksanakan kongresnya.

Dan, “Saya mengikuti perkembangan Partai Nasdem, terutama Pidato ketua Partai Nasdem Surya Paloh yang selalu berapi-api dan menjunjung tinggi Nasionalisme, Kebhinekaan.”

Visinya untuk merestorasi peradaban Indonesia agar bangsa yang besar dan dihormati dunia.

“Saya mencermati pemikirannya yang lebih mengedepankan kebaikan seluruh bangsa, bukan hanya kepentingan partai, menjadikan partai Nasdem memiliki harapan nyata untuk mewujudkan cita-cita peradaban itu,” tutur Peter Gontha yang kemudian tergerak untuk masuk ke partai.

Ketika ia melihat gesture Surya Paloh di media massa ketika bertemu para pemimpin sangat gentle dan ksatria meski kita melihat banyak “kendala”.

Sejarah mencatat, PFG dan Surya Paloh memiliki riwayat persahabatan yang menarik dan panjang. Orang tua mereka, pernah bersama dalam pengabdian di lembaga kepolisian RI. Mereka sudah bersahabat sejak remaja.

Namun begitu, persahabatan PFG dan Surya Paloh tidaklah berjalan semulus seperti yang banyak dikira orang. Mereka berdua memiliki karakter yang sama-sama keras.

Meski demikian, ada suatu hal yang membuat keluarga PFG dan SP mengenang, terjadi pada 22 tahun silam. Apa itu, hanya mereka yang tahu.

Di momen yang berbeda, situasi mencatat dan mengetuk nurani. Tepatnya tanggal 15 November 2019, PFG diundang makan siang SP.

Ikut hadir Ibu Reri Moerdiyat Lestari, Wakil ketua MPR dari partai Nasdem, dan juga Ahmad Ali, wakil ketua Fraksi Nasdem.

“Sekali lagi, Bang Surya menyampaikan keinginannya agar saya masuk ke partai Nasdem sebagai anggota Dewan Pakar,” Peter Gontha mengaku sungguh, merasa terhormat dengan tawaran itu.

Mendengar permintaan itu, PFG pun spontan berujar, “Pada umur saya yang sudah 72 tahun, tak ada lagi masa depan, masa depan saya adalah hari ini.”

“Ibarat putaran roda, masa depan saya baru berakhir. Namun, pada saat yang sama masa depan yang berikutnya, bagi anak cucu dan keturunan saya baru saja saya mulai,” ujar Peter yang meminta teman-temannya memaklumi, memgamini, dan merestui serta mendukung keputusannya.

Di Nasdem juga banyak proffessional dan pengusaha, ada Jan Darmadi, Rachmat Gobel, Keluarga Rusdi Kirana, Johny Platte , Maxi Gunawan dan banyak lagi.

Sejurus kemudian, terbersit banyak yang telah diterima dari negara dan bangsa ini, kedudukan maupun nikmat duniawi.

Sudah waktunya, “Saya mencoba memberi kembali apa yang sudah diterima itu melalui sumbangsih pemikiran dan pengalaman saya”.

Ya, Peter Gontha telah memutuskan untuk bergabung dengan Partai Nasional Demokrat demi memberi sumbangsih pikiran dan tenaga untuk kebaikan bangsa.

Lalu PFG pun katakan: “Bang, saya Siap Bergabung!” .

baca juga: majalah matra edisi cetak – klik ini

klik: marketplace pria sejati — klik www.majalahmatra.com

Tinggalkan Balasan